Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia
luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang
mendengar namanya. Bahkan, di tahun 1365, sastra Jawa Negarakartagama hanya
menyebutkannya secara sepintas lalu.
Berakhir Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang
bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai
Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai
ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Kutai
Kartanegara adalah kesultanan Islam.
1. Maharaja
Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
2. Maharaja
Aswawarman (anak Kundungga)
3. Maharaja
Mulawarman (anak Aswawarman)
4. Maharaja
Marawijaya Warman
5. Maharaja
Gajayana Warman
6. Maharaja
Tungga Warman
7. Maharaja
Jayanaga Warman
8. Maharaja
Nalasinga Warman
9. Maharaja Nala
Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga
Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman
Dewa
12. Maharaja Sangga Warman
Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka
Dewa
15. Maharaja Guna Parana
Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta
Dewa
21. Maharaja Dharma Setia
KERAJAAN TARUMANEGARA
Tarumanagara
atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah
barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan kerajaan
tertua ke-2 di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada
saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Bukti
keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang
ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari
prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M.
Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah
Bekasi). Kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 – 395).
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanegara yang ketiga (395 – 434 M).
Menurut Prasasti Tugu pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati
dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km).
Sumber
sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara
adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang
menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta
Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang.
Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa
Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah
berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada
prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang
ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Prasasti yang ditemukan :
1.
Prasasti
Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi
milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2.
Prasasti
Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut
isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan
penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada
tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan
untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa
pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3.
Prasasti
Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang
mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi
pujian kepada Raja Purnawarman.
4.
Prasasti
Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5.
Prasasti
Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6.
Prasasti
Jambu, Nanggung, Bogor
7.
Prasasti
Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Prasasti
Tarumanegara:
Salah Satu Prasasti
dari kerajaan Tarumanegara, prasasti ini ditemukan di daerah Tugu Lahan tempat
prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit
tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat
itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah
swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara
tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah
"kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan
untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang
bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman
ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan
dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan
beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum
mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan
naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir
Muara
Di Bogor, prasasti
ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah
peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam
prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa
barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan
Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4),
pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan
"angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun
ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai
tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan
di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa,
berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva
padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak)
telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang
gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada
pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda
kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman
sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa
daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada
masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja
daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak
Gajah
Prasasti Telapak
Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris
berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak
kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa
perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa
I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah
tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara
berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota
yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan
sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah
memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna
dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para
ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan
bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan
telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar
atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari
Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah)
sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya
sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat
pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di daerah Bogor,
masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan
Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung,
Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti
inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi
dua baris:
shriman data
kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma
pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane
nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam
ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur
serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus
oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Naskah Wangsakerta :
Penjelasan tentang
Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini
mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini
bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta
dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman
pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman
(382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya
di tepi kali Candrabaga.
Maharaja
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun
ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai.
Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda"
digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan
kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi
penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7.
Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan
bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman,
banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas
daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari
segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik
ayahnya.
Rakeyan Juru
Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang
pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti
mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana?
Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat
penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber
prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman
berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan
bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara,
parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang
Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang
dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti
Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M,
merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah
bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura
atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun
150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja
Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat
pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah
status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di
India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan
Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak
hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih
banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya,
Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah
Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal
bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika
cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara
sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman,
raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman
sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri
Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri
Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta
kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu
Tarusbawa.
Kekuasaan
Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena
Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri,
yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas
pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan
memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta :
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10.Hariwangsawarman 639-640
11.Nagajayawarman 640-666
12.Linggawarman 666-669
Kerajaan Kalingga
Letak Kerajaan
Kaling atau Holing, diperkirakan di Jawa Tengah. Nama Kaling berasal
dari Kalingga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Sumbernya adalah berita
Cina yang menyebutkan bahwa kotanya dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya
beristana di rumah yang bertingkat, yang ditutup dengan atap, orang-orangnya
sudah pandai tulis-menulis dan mengenal juga ilmu perbintangan.
Kalingga atau Ho-ling (sebutan
dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa
Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas,
kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten
Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur,
kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan
naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16
menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan
Galuh.
Kalingga telah ada
pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan
barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Yang
sangat tampak bagi orang Cina ialah orang Kaling (Jawa), kalau makan tidak
memakai sendok atau garpu, melainkan dengan jarinya saja. Minuman kerasnya yang
dibikin ialah air yang disadap dari tandan bunga kelapa (tuak).
Diberitakan
pula bahwa dalam tahun 640 atau 648 M kerajaan Jawa mengirim utusan ke Cina.
Pada tahun 666 M, dikatakan bahwa tanah Jawa diperintah oleh seorang raja
perempuan yakni dalam tahun 674 – 675 M, orang-orang Holing atau Kaling (Jawa)
menobatkan raja perempuan yang bernama Simo, dan memegang pemerintahannya
dengan tegas dan bijaksana.
Berdasarkan
sumber-sumber mengenai kerajaan Kaling tersebut, dapat diketahui bagaimana
keadaan :
Pemerintahan
dan Kehidupan Masyarakat
Dalam
berita Cina disebut adanya raja atau Ratu Sima, yang memerintah pada tahun 674
M. Beliau terkenal sebagai raja yang tegas, jujur dan bijaksana. Hukum
dilaksanakan dengan tegas, hal ini terbukti pada saat raja Tache ingin menguji
kejujuran rakyat Kaling. Diletakkanlah suatu pundi-pundi yang berisi uang dinar
di suatu jalan. Sampai tiga tahun lamanya tidak ada yang berani mengambil.
Keadaan
sosial dan ekonomi kerajaan Kaling
Mata
pencaharian penduduknya sebagian besar bertani, karena wilayah Kaling dikatakan
subur untuk pertanian. Perekonomian, sudah banyak penduduk yang melakukan
perdagangan apalagi disebutkan ada hubungan dengan Cina.
Di
Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling, Jepara di sana
terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu.
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca
tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di
seputar puncak tersebut, Prof Gunadi dan empat orang tenaga
stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi
Yogyakarta) menemukanPrasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan
itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga
menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri,
Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
Peninggalan
Kerajaan Ho-ling atau kerajaan Kaling (Kalingga) adalah Prasasti Tukmas dan
Prasasti Sojomerto :
Prasasti
Tukmas
Prasasti
Tukmas di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi tepatnya di Dusun Dakawu,
Desa Lebak, Kecamatan Grabag Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan
huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air
yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan
dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti
trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan
lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Prasasti
Sojomerto
Prasasti
Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa
Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari
sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti
memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama
Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Dapunta
Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa
di Kerajaan Mataram Hindu.
Peninggalan
dari kerajaan Kalingga juga ada dua candi yaitu :
Candi
Angin
Candi
Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah.
Candi
Bubrah, Jepara
Candi
Bubrah ditemukan di Desa Tempur Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara Jawa Tengah.
Kedua
temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu
berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan
kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang
berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan
kerajaan Buddha yang berdiri di Sumatera pada abad ke-7. Pendirinya adalah
Dapunta Hyang. Kerajaan ini pernah menjadi kerajaan terbesar di Nusantara,
b bahkan mendapat sebutan Kerajaan Nasional I sebab pengaruh kekuasaannya
mencakup hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di sekitarnya.
Letaknya
sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan sampai ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India – Cina pada saat
itu),
Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.
Nama raja-raja Sriwijaya:
Samarawijaya
Sri Bameswara
Jayabaya
Kertajaya
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya
1) Berita dari Cina
Dalam
perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari
Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari
paramasastra atau tabahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis,
Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Kesimpulan
I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang agama Buddha.
Pelayarannya maju karena kapal-kapal India
singgah di sana dan ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di
Sriwijaya dipengaruhi Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana.
I-Tsing juga menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di
pantai barat Melayu pada tahun 682 – 685.
Berita
Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) adalah
kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita sumber dari
dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering datang ke San-fo-tsi.
Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu adalah Sriwijaya.
2) Berita dari Arab
Berita
Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan
bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan
seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag
lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di daerah yang
disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.
3) Berita dari India
Prasasti
Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola menyebutkan adanya
pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma. Biara tersebut dibuat
oleh Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga Syailendra yang berkuasa di
Sriwijaya dan Kataka.
Prasasti
Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah
membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu
wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di
Kerajaan Nalanda.
Hal
ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu, Balaputradewa,
mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti Nalanda juga menyebutkan
bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti Syailendra yang terusir
dari Jawa meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui hak-haknya atas dinasti
Syailendra.
4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber
sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti-prasasti berhuruf
Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
a) Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka
(683 M) ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
b) Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684
M) ditemukan di sebelah barat
Pelembang.
c) Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686
M) ditemukan di Bangka.
Prasasti
ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa
keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi
Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya."
d) Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka
(686 M). Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara
politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan
memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini
juga memuat penaklukan Jambi.
e) Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun).
Prasasti ini menyebutkan bahwa negara Sriwijaya
berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra- putra
raja: Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua),
dan Rajakumara (tidak berhak menjadi raja).
f) Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M)
ditemukan di Tanah Genting Kra.
Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra
(Melayu) oleh Sriwijaya
g) Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun)
ditemukan di Lampung berisi penaklukan
Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.
Dari
sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang
berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas
wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga,
Sriwijaya semula tidak berada di sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan,
yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Setelah berhasil menaklukkan Palembang, barulah pusat kerajaan dipindah dari
Minangatwan ke Palembang.
Catatan-catatan
mengenai Sriwijaya
Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan
Sriwijaya:
Berbahasa Sanskerta atau Tamil
Prasasti
Ligor di Thailand
Prasasti Kanton di Kanton
Prasasti Siwagraha
Prasasti Nalanda di India
Piagam Leiden di India
Prasasti Tanjor
Piagam Grahi
Prasasti Padang Roco
Prasasti Srilangka
Sumber berita Tiongkok :
Kronik dari Dinasti Tang
Kronik Dinasti Sung
Kronik Dinasti Ming
Kronik Perjalanan I Tsing
Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan
Prasasti berbahasa Melayu Kuna :
Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan
Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Pekalongan - Jawa Tengah
Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya dikenal
sebagai kerajaan besar dan masyhur. Selain mendapat julukan sebagai Kerajaan
Nasional I, Sriwijaya juga mendapat julukan Kerajaan Maritim disebabkan armada
lautnya yang kuat. Raja-rajanya yang terkenal adalah Dapunta Hyang (pendiri
Sriwijaya) Balaputradewa, dan Sanggrama Wijayatunggawarman. Berdasarkan
Prasasti Kedukan Bukit diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas
wilayah Kerajaan Sriwijaya dari Minangatwan sampai Jambi.
Pemerintahan
Raja Balaputradewa berhasil mengantarkan Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar
dan mencapai masa kejayaan. Balaputradewa adalah putra Raja Syailendra,
Samaratungga, yang karena dimusuhi saudarinya, Pramodhawardhani (istri Raja
Pikatan dari wangsa Sanjaya), terpaksa melarikan diri ke Sriwijaya. Saat itu,
Sriwijaya diperintah oleh Raja Dharmasetu, kakek dari ibunda
Balaputradewa.
Raja
ini tidak berputra sehingga kedatangan Balaputradewa disambut dengan baik,
bahkan diserahi takhta dan diangkat menjadi raja di Sriwijaya. Dalam masa
pemerintahannya, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Nalanda dalam bidang
pengembangan agama Buddha. Pada masa pemerintahan Sanggrama
Wijayattunggawarman, Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan Colamandala.
Sang Raja ditawan dan baru dilepaskan ketika Colamandala diperintah Raja
Kolottungga I.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya
Letak Sriwijaya
sangat strategis, yakni di tengah jalur perdagangan India - Cina, dekat Selat
Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan daerah-daerah di Asia Tenggara.
Menurut Coedes, setelah Kerajaan Funan runtuh, Sriwijaya berusaha menguasai
wilayahnya agar dapat memperluas kawasan perdagangannya.
Untuk
mengawasi kelancaran perdagangan dan pelayarannya, Sriwijaya menguasai daerah
Semenanjung Malaya, tepatnya di daerah Ligor. Adanya hubungan perdagangan
dengan Benggala dan Colamandala di India, lalu lintas perdagangan Sriwijaya
makin ramai. Ekspor Sriwijaya terdiri atas gading, kulit, dan beberapa jenis
binatang. Adapun impornya adalah sutra, permadani, dan porselin.
Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan lndia
Di daerah Benggala,
di India, ada sebuah kerajaan bernama Nalanda yang diperintah oleh dinasti
Pala. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke 8 hingga pada abad ke 11. Rajanya yang
terbesar adalah raja Dewa Pala. Hubungan Sriwijaya dengan kerajaan ini sangat
baik, terutama dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam pengembangan agama
Buddha. Banyak bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya yang belajar agama Buddha di
perguruan tinggi Nalanda.
Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Hubungan kedua
kerajaan ini pada awalnya sangat baik. Diawali dengan hubungan dalam bidang
agama kemudian meningkat ke bidang ekonomi perdagangan. Pada tahun 1006, Raja
Sriwijaya bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan biara di Colamandala
untuk tempat tinggal para bhiksu dari Sriwijaya.
Akibat
adanya persaingan dalam pelayaran dan perdagangan, persahabatan kedua kerajaan
itu berubah menjadi permusuhan. Raja Rajendra Cola menyerang Sriwijaya sampai
dua kali. Serangan pertama pada tahun 1007 gagal. Serangan kedua pada tahun
1023/1024 berhasil merebut kota dan bandar dagang Sriwijaya. Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman berhasil ditawan dan baru dibebaskan pada zaman Raja
Kulottungga I.
Pengaruh
budaya
Kerajaan Sriwijaya
banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada
tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9.
Kerajaan Sriwijaya
juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung
Melayu, dan pulau Kalimantan bagian Barat.
Pada masa yang
sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui
hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir
Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya
dan mendirikan Kesultanan Melaka.
Agama Buddha aliran
Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara
dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025,
dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India)
yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025,
raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya
telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya
kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya
melemah. Berita bahwa kerajaan Melayu Jambi takluk kepada Majapahit hingga
sekarang masih diragukan kebenarannya. Karena setelah kemundurannya wilayah
sumatera bagian selatan merupakan daerah tanpa kekuasaan dan pusat bajak laut
Selat Malaka.
Kekayaan Kerajaan Sriwijaya diperoleh dari :
1. Bea masuk dan keluar bandar-bandar Sriwijaya,
2. Bea cukai semua kapal yang melalui perairan Asia
Tenggara,
3. Upeti persembahan dari raja-raja negara vasal,
dan
4. Hasil keuntungan perdagangan.
Kemunduran Kerajaan
Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang disebabkan
oleh faktor-faktor berikut.
1)
Faktor geologis, yaitu adanya pelumpuran Sungai Musi sehingga para pedagang
tidak singgah lagi di Sriwijaya.
2)
Faktor politis, yaitu jatuhnya Tanah Genting Kra ke tangan Siam membuat
pertahanan Sriwijaya di sisi utara melemah dan perdagangan mengalami
kemunduran.
Di
sisi timur, kerajaan ini terdesak oleh Kerajaan Singasari yang dipimpin
Kertanegara.
Akibat
dari serangan ini, Melayu, Kalimantan, dan Pahang lepas dari tangan Sriwijaya.
Desakan lain datang dari Kerajaan Colamandala dan Sriwijaya akhirnya
benar-benar hancur karena diserang Majapahit.
3)
Faktor ekonomi, yaitu menurunnya pendapatan Sriwijaya akibat lepasnya
daerah-daerah strategis untuk perdagangan ke tangan kerajaan-kerajaan lain.
Kerajaan Mataram Kuno
Di
wilayah Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan
Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram
yang terletak di pedalaman Jawa Tengah. Daerah tersebut memiliki banyak
pegunungan dan sungai seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, dan Bengawan
Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal :
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi
serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh
Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke
wilayah timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda
pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tengah dianggap
tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti
Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna.
Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan
Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan.
Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai
pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya
dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat
Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal
ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di
Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan
berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja
Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan
dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai
Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran
berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno
selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang
waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi
cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.
Pada
abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan
politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani
(Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara
Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah
Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik
tiri dari Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu
Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan
dengan Balaputradewa.
Balaputradewa
mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian
berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini
dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja
Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja
Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah
Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas
kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah
Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan
Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk
candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan
raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan
Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga
jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin
oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya
adalah Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah
Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya
Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung
berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa
pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan
menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat
penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh
dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat
itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu
berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain
struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama
di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di
Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan
Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat
kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan
Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram
Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan
Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota.
Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak
kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga
dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota
kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia
wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang
waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti
Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8.
Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan,
antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan
(778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu,
penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi
Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan
Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja
Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu
Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti
Nalanda (860), menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja
Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada
abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak
oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang
menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja
Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra
muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh
Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja
Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti
Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi
Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga
meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan
diri ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.
KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan
Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa
Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak
di sekitar Kota Kediri sekarang.
Masa-masa
awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang
II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang
saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah
Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104
atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya
yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah
dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu
Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa
kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal
ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou
Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara
berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah
Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai
Kerajaan Sriwijaya.
Runtuhnya Kadiri
Di Tumapel, wilayah
bawahan Kadiri di daerah Malang, terjadi gejolak politik. Ken Arok membunuh
penguasa Tumapel Tunggul Ametung, dan mendirikan Kerajaan Singhasari tahun
1222. Ken Arok lalu beraliansi dengan para brahmana dan berhasil memberontak
terhadap Kadiri. Dengan hancurnya Kadiri dan meninggalnya Kertajaya, Kadiri
kemudian menjadi wilayah bawahan Kerajaan Singhasari.
Nama-nama raja yang berkuasa di Kadiri:
• Sri Samarawijaya (1042-?) - adalah putra Airlangga yang menjadi raja pertama
Kadiri
• Sri Jayawarsa (1104-1115) - tidak diketahui dengan pasti apakah ia pengganti
langsung dari Samarawijaya atau bukan.
• Sri Bameswara (1116-1135)
• Sri Jayabaya (1135-1159) - raja pujangga dan terkenal dengan ramalannya
Jangka Jayabaya
• Sri Sarweswara (1159-1161)
• Sri Aryeswara (1171-1174)
• Sri Gandra (1181)
• Kameswara (1182-1185)- terkenal di nusantara dalam cerita Panji
• Kertajaya (1185-1222) - adalah raja terakhir Kadiri
KERAJAAN
SINGASARI
Nama Asli Singhasari
Berdasarkan
prasasti Kudadu, sesungguhnya nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan
Tumapel. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa, ketika pertama kali didirikan
tahun 1222, nama ibu kota Kerajaan Tumapel adalah Kutaraja. Lokasi
kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.Pada
tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai raja muda, dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama
Singhasari yang merupakan nama ibu kota justru kemudian lebih terkenal dari
pada nama Tumapel.
Dalam berita Cina Kerajaan Tumapel sering disebut Tu-ma-pan.
Berdirinya Kerajaan Tumapel
Dalam naskah
Pararaton disebutkan bahwa, Tumapel semula hanyalah sebuah daerah bawahan
Kerajaan Kadiri. Akuwu (camat) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Ia
kemudian mati dibunuh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok melalui suatu
cara yang sangat licik. Ken Arok kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu,
Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222
terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para
pendeta itu lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok. Perang akhirnya terjadi
antara pasukan Kadiri melawan pasukan Tumapel di desa Ganter. Pihak Kadiri
kalah. Ken Arok lalu mengangkat diri sebagai raja pertama Tumapel bergelar Sri
Rajasa Sang Amurwabhumi.
Naskah
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian kerajaan Tumapel.
Namun tidak dijumpai adanya nama Ken Arok. Dalam kitab karya Mpu Prapanca
tersebut, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra.
Prasasti Mula
Malurung yang diterbitkan Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri
Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin ini adalah gelar anumerta dari
Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel
tersebut dipuja sebagai Siwa.
Versi Pararaton adalah:
|
Versi Nagarakretagama adalah:
1.
Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2.
Anusapati (1227 - 1248)
3.
Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4.
Kertanagara (1254 - 1292)
|
Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja.
Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok
berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja
Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke
Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter, ia mengalami kekalahan dan
meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta
mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa)
atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari
istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang
anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari
perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu
Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga
memiliki seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul
ametung dan Ken Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken
Arok.
Pada
tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak
tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan
bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai
untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah
selatan Singasari). Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha,
naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai
tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati,
merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan
mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah
Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian
mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia
tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati.
Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri
Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan
Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya dengan tombak.
Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi
akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan
Singasari kembali kosong.
Setelah
tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya
Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh
anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan
Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana
menobatkan anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja
(Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268.
Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat
yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi
Weleri sebagai Siwa.
Setelah
ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja
Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang
pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu.
Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan,
yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur
soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja
Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia
mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan
Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala
Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai
Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi
tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan tahun1260. Peristiwa ini
diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai Langsat) yang
berangka tahun 1286.
Raja
Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya
menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan
Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga
membawa putrid Melayu kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah
seorang bangsawan Singasari. Tujuh pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu
adalah untuk menghadang rencana perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari
Cina.
Diceritakan
bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut
pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti
atau utusan sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak
mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada
tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar
Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari.
Sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk
menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan
Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik
untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan
Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut
cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat
dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah
mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut
oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
Kerajaan Bali
Informasi
tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama
dari prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat
oleh Raja Sri Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali
dari Dinasti Warmadewa. Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali,
ia memerintah Kerajaan Bali yang berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri
Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat
beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837
Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu
kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun
855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi
peziarah dan perantau yang kemalaman.
Pengganti
Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya, ia
berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat
Tampak Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa.
Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu
secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang
ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun
905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu
Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti
ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana,
hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini
disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni,
cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu
banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi
serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah
Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra
kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga
menjadi raja Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari
kerajaan Medang Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa
Marakatapangkaja sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah
kekuasaannya meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring
dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti
raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia
mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak
Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan
Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan
dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah
anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini
digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka.
Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang
memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus
(1177-1181). Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar
Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini berusaha mempertahahankan
kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin oleh Gajah Mada.
Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343, Bali
dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke
Gelgel dan Klungkung.
Kerajaan Pajajaran
Pusat
Kerajaan Pajajaran awalnya terletak di daerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama
Kerajaan Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian
direbut oleh saudara Raja Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan
keluarganya terpaksa meninggalkan keratin. Tidak lama kemudian, Raja Sena
berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajajaran.
Raja
Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan
diperintah oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat
kerajaan dipindahkan ke Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam
Wuruk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton
sebagai Perang Bubat.
Ketika
perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas.
Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra
mahkota Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14
tahun. Pada Prasasti Batu Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan
Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan,
lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata,
diperkirakan bahwa di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama
islam. Hal ini tergambar dari tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang
bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan bahwa di wilayah timur kerajaan ini
terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum masuk ke pusat
kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai
mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh
karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk
menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan
yang dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda
Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di
Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra Jayadewata.
Setelah
pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus
menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu
Prabu Ratu Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan
Maulana Hasanuddin dan putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan
Pajajaran akhirnya runtuh setelah Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil
menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk
pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian
hidup sebagai suku Badui.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Majapahit
adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di
Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga
1389.
Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Sebelum
berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa.
Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti.
Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar
upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong
telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
tahun 1293.
Ketika
itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Setelah
Kertanegara terbunuh oleh Jayakatwang, 1292. Raden Wijaya menantu Kertanegara
berhasil melarikan diri ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja, bupati
Sumenep. Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya menyerahkan diri kepada
Jayakatwang. Atas jaminan dari Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima dan
diperbolehkan membuka hutan Tarik yang terletak di dekat Sungai Brantas. Dengan
bantuan orang-orang Madura, pembukaan hutan Tarik dibuka dan diberi nama
Majapahit.
Kemudian
datanglah pasukan Tartar yang dikirim Kaisar Kubilai Khan untuk menghukum raja
Jawa. Walaupun sudah mengetahui Kertanegara sudah meninggal, tentara Tartar
bersikeras mau menghukum raja Jawa. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya
untuk membalas dendam kepada Jayakatwang. Jayakatwang berhasil dihancurkan.
Pada waktu tentara Tartar hendak kembali kepelabuhan, Raden Wijaya
menghancurkan tentaraTartar, Setelah berhasil mengusir tentara Tartar, Raden
Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana pada tahun 1293.
Kertarajasa
meninggal pada tahun 1309. Satu-satunya putra yang dapat menggantikannya adalah
Kalagamet. la dinobatkan sebagai raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanagara. Ia
bukanlah raja yang cakap. Selain itu ia juga mendapatkan banyak pengaruh dari
Mahapati. Akibatnya masa pemerintahannya diwarnai dengan adanya beberapa kali
pemberontakan.
Pemberontakan
yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, pada tahun 1319. Kuti berhasil
menduduki ibukota Majapahit, sehingga Jayanagara harus melarikan diri ke desa
Bedander yang dikawal oleh pasukan Bhayangkari dipimpin oleh Gajah Mada.
Pemberontakan Kuti ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Karena jasanya Gajah
Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan. Pada tahun 1328 Jayanagara mangkat
dibunuh oleh tabib istana, Tanca. Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.
Jayanagara tidak meninggalkan keturunan.
Karena
Jayanagara tidak mempunyai keturunan, maka yang berhak memerintah semestinya
adalah Gayatri atau Rajapatni. Akan tetapi Gayatri telah menjadi bhiksuni. Maka
pemerintahan Majapahit kemudian dipegang oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan
gelar Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani. la menikah dengan Kertawardhana.
Dari perkawinan ini lahirlah Hayam Wuruk. Pada tahun 1331 terjadi pemberontakan
Sadeng dan Keta. Pemberontakan yang berbahaya ini dapat ditumpas oleh Gajah
Mada. Karena jasanya Gajah Mada diangkat sebagai Patih Mangkubumi Majapahit.
Pada saat pelantikan, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Pada
tahun 1350 M, lbu Tribhuwanatunggadewi, Gayatri meninggal. Sehingga Tribhuwana
turun tahta. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang
bergelar Rajasanagara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada
sebagai Mahapatihnya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Dengan Sumpah
Palapa-nya Gajah Mada berhasil menguasai seluruh kepulauan Nusantara ditambah
dengan Siam, Martaban (Birma), Ligor, Annom, Campa dan Kamboja.
Pada
tahun 1364, Patih Gajah Mada wafat ditempat peristirahatannya, Madakaripura, di
lereng Gunung Tengger. Setelah Gajah Mada meninggal, Hayam Wuruk menemui
kesulitan untuk menunjuk penggantinya. Akhirnya diputuskan bahwa pengganti
Gajah Mada adalah empat orang menteri.
Hayam
Wuruk wafat pada tahun 1389. Ia disemayamkan di Tayung daerah Berbek,
Kediri. Seharusnya yang menggantikan adalah puterinya yang bernama
Kusumawardhani. Namun ia menyerahkan kekuasaannya kepada suaminya,
Wikramawardhana. Sementara itu Hayam Wuruk juga mempunyai anak laki-laki dari
selir yang bernama Bhre Wirabhumi yang telah mendapatkan wilayah keuasaan
di Kedaton Wetan (Ujung Jawa Timur). Pada tahun 1401 hubungan Wikramawardhana
dengan Wirabhumi berubah mejadi perang saudara yang dikenal sebagai Perang
Paregreg. Pada tahun 1406 Wirabhumi dapat dikalahkan di dibunuh. Tentu saja
perang saudara ini melemahkan kekuasaan Majapahit. Sehingga banyak
wilayah-wilayah kekuasaannya melepaskan diri.
AKULTURASI
Masuknya
budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya Akulturasi.Akulturasi merupakan
perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup
berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari
kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak
diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.
Hal ini disebabkan karena:
1.
Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi
sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan
kebudayaan Indonesia.
2.
Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local geniusmerupakan
kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pengaruh
kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di
Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih
terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses
pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Seni Bangunan
Seni
bangunan tampak pada bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli
bangsa Indonesia dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan
akulturasi budaya bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan
zaman megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang
mendapat pengaruh Hindu Budha. Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai
pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga
candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa.
Sedangkan candi Budha, hanya jadi tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti
pripih dan abu jenazah ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni Sastra dan Aksara
Periode
awal di Jawa Tengah pengaruh sastra Hindu cukup kuat.Periode tengah bangsa
Indonesia mulai melakukan penyaduran atas karya India.
Contohnya:
Kitab Bharatayudha merupakan gubahan Mahabarata oleh Mpu Sedah dan Panuluh. Isi
ceritanya tentang peperangan selama 18 hari antara Pandawa melawan Kurawa. Para
ahli berpendapat bahwa isi sebenarnya merupakan perebutan kekuasaan dalam
keluarga raja-raja Kediri.
Prasasti-prasasti
yang ada ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Bahasa Sansekerta
banyak digunakan pada kitab-kitab kuno/Sastra India. Mengalami akulturasi
dengan bahasa Jawa melahirkan bahasa Jawa Kuno dengan aksara Pallawa yang
dimodifikasi sesuai dengan pengertian dan selera Jawa sehingga menjadi aksara
Jawa Kuno dan Bali Kuno. Perkembangannya menjadi aksara Jawa sekarang serta
aksara Bali. Di kerajaan Sriwijaya huruf Pallawa berkembang menjadi huruf
Nagari.